Musafir
Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar
Dalam pembahasan ini terdapat lima bagian dan terkait dengan pertanyaan diskusi mengenai Musafir di pengajian kemaren dapat dilihat di bagian kelima :
Bagian Pertama, dalil-dalil yang membolehkan seorang musafir untuk tidak berpuasa.
Bagian Kedua, beberapa jenis perjalanan yang membolehkan pelakunya tidak berpuasa.
Bagian Ketiga, jarak perjalanan yang membolehkan seseorang tidak berpuasa.
Bagian Keempat, manakah yang lebih utama, berpuasa atau tidak berpuasa ketika dalam perjalanan?
Bagian Kelima, berbuka puasa bagi orang yang berniat untuk bermukim di suatu negara.
Bagian Pertama: Dalil-Dalil yang Membolehkan Seorang Musafir Untuk Tidak Berpuasa
Dibolehkan untuk tidak berpuasa bagi seorang musafir yang melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan. Hal tersebut didasarkan pada dalil al-Qur-an, as-Sunnah, ijma' dan juga logika.
Dalil-dalil dari al-Qur-an adalah:
1. Firman Allah Ta'ala:
"Maka, jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [Al-Baqarah: 184]
2. Firman Allah Ta'ala:
"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]
Demikianlah nash sharih (jelas) yang membolehkan seorang musafir tidak berpuasa, tetapi dia tetap berkewajiban untuk mengqadha' puasa sesuai dengan hari-hari yang ditinggalkannya itu. Dan pada ayat-ayat di atas terdapat penjelasan mengenai sebab tidak berpuasa, yaitu pemberian keringanan dan kemudahan kepada kaum muslimin.
Sedangkan dalil-dalil dari as-Sunnah adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya Hamzah bin Amr al-Aslami pernah berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah aku boleh berpuasa dalam perjalanan -ia termasuk orang yang banyak berpuasa-?" Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.
"Jika mau, berpuasalah dan jika mau, kamu boleh tidak berpuasa..." [1]
2. Hadits yang diriwayatkan dari Abud Darda Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Kami pernah pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada beberapa perjalanan (yang ditempuhnya) pada hari yang panas sehingga beliau meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas matahari yang sangat terik. Tidak ada di antara kami yang berpuasa, kecuali Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Ibnu Rawahah..." [2]
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Dalam suatu perjalanan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat kerumunan orang dan seorang yang berteduh di bawahnya, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Mengapa orang ini?' Mereka menjawab, 'Dia sedang berpuasa.' Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.
'Bukanlah termasuk kebajikan jika berpuasa dalam per-jalanan. '" [3]
Hadits-hadits di atas merupakan dalil paling nyata yang membolehkan seorang musafir untuk tidak berpuasa secara umum, meskipun terdapat perbedaan di kalangan ulama mengenai, mana yang lebih baik bagi seorang musafir, berbuka atau berpuasa?
Dan dalil dari Ijma' adalah sebagai berikut:
Kaum muslimin telah sepakat membolehkan berbuka (tidak berpuasa) bagi seorang musafir secara umum.
Di dalam kitab al-Majmuu', Imam an-Nawawi mengatakan, "....Jika perjalanannya itu jauh di atas jarak yang membolehkan qashar shalat, sedang perjalanannya itu bukan untuk maksiat, maka menurut ijma', dia boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan yang disertai dalil al-Qur-an dan as-Sunnah... " [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Dibolehkan bagi seorang musafir untuk tidak berpuasa, menurut kesepakatan umat, baik dia dalam keadaan mampu mengerjakan puasa maupun tidak, baik dia merasa keberatan untuk menjalankannya maupun tidak."
Adapun dalil secara logika adalah:
Dibolehkannya tidak berpuasa dalam perjalanan, karena perjalanan menjadi aktivitas yang banyak menghadapi kesulitan, sehingga diberikan keringanan kepada kaum muslimin dalam rangka menghilangkan kesulitan dan kesusahan tersebut.
Mahabenar Allah Yang Mahaagung atas firman-Nya:
"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]
Bagian Kedua: Beberapa Jenis Perjalanan yang Membolehkan Pelakunya Tidak Berpuasa
Dalam syarat perjalanan seseorang, tidak boleh bertujuan untuk menyiasati agar boleh tidak berpuasa. Jika dimaksudkan untuk itu, maka diharamkan baginya untuk tidak berpuasa, dan pada saat itu, hukum puasa baginya adalah wajib.
Para ahli fiqih rahimahullah telah bersepakat membolehkan berbuka dalam perjalanan yang hukumnya wajib, misalnya perjalanan jihad, haji dan umrah, sebagaimana yang menjadi pendapat Jumhur Ulama yang membolehkan tidak berpuasa dalam perjalanan yang hukumnya sunnat dan mubah, sebab keduanya berdekatan dengan wajib, karena adanya ketetapan tidak berpuasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat pulang dari perjalanan wajib dan kepulangan tersebut merupakan suatu hal yang mubah. Sedangkan perjalanan sunnat adalah perjalanan dalam rangka ketaatan kepada Allah.
Adapun perjalanan untuk kemaksiatan, maka (pendapat) para ulama terbagi dua, yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengharamkan berbuka. Contoh dari perjalanan itu adalah perjalanan menuju ke negeri kafir untuk mencari tempat-tempat prostitusi, obat-obatan terlarang, kejahatan, penjegalan, pencurian, dan orang yang sejalan dengan mereka yang berusaha menyebarkan kerusakan di muka bumi, serta mengganggu kehormatan dan harta orang-orang mukmin. [6]
Bagian Pertama, dalil-dalil yang membolehkan seorang musafir untuk tidak berpuasa.
Bagian Kedua, beberapa jenis perjalanan yang membolehkan pelakunya tidak berpuasa.
Bagian Ketiga, jarak perjalanan yang membolehkan seseorang tidak berpuasa.
Bagian Keempat, manakah yang lebih utama, berpuasa atau tidak berpuasa ketika dalam perjalanan?
Bagian Kelima, berbuka puasa bagi orang yang berniat untuk bermukim di suatu negara.
Bagian Pertama: Dalil-Dalil yang Membolehkan Seorang Musafir Untuk Tidak Berpuasa
Dibolehkan untuk tidak berpuasa bagi seorang musafir yang melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan. Hal tersebut didasarkan pada dalil al-Qur-an, as-Sunnah, ijma' dan juga logika.
Dalil-dalil dari al-Qur-an adalah:
1. Firman Allah Ta'ala:
"Maka, jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [Al-Baqarah: 184]
2. Firman Allah Ta'ala:
"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]
Demikianlah nash sharih (jelas) yang membolehkan seorang musafir tidak berpuasa, tetapi dia tetap berkewajiban untuk mengqadha' puasa sesuai dengan hari-hari yang ditinggalkannya itu. Dan pada ayat-ayat di atas terdapat penjelasan mengenai sebab tidak berpuasa, yaitu pemberian keringanan dan kemudahan kepada kaum muslimin.
Sedangkan dalil-dalil dari as-Sunnah adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya Hamzah bin Amr al-Aslami pernah berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah aku boleh berpuasa dalam perjalanan -ia termasuk orang yang banyak berpuasa-?" Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.
"Jika mau, berpuasalah dan jika mau, kamu boleh tidak berpuasa..." [1]
2. Hadits yang diriwayatkan dari Abud Darda Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Kami pernah pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada beberapa perjalanan (yang ditempuhnya) pada hari yang panas sehingga beliau meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas matahari yang sangat terik. Tidak ada di antara kami yang berpuasa, kecuali Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Ibnu Rawahah..." [2]
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Dalam suatu perjalanan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat kerumunan orang dan seorang yang berteduh di bawahnya, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Mengapa orang ini?' Mereka menjawab, 'Dia sedang berpuasa.' Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.
'Bukanlah termasuk kebajikan jika berpuasa dalam per-jalanan. '" [3]
Hadits-hadits di atas merupakan dalil paling nyata yang membolehkan seorang musafir untuk tidak berpuasa secara umum, meskipun terdapat perbedaan di kalangan ulama mengenai, mana yang lebih baik bagi seorang musafir, berbuka atau berpuasa?
Dan dalil dari Ijma' adalah sebagai berikut:
Kaum muslimin telah sepakat membolehkan berbuka (tidak berpuasa) bagi seorang musafir secara umum.
Di dalam kitab al-Majmuu', Imam an-Nawawi mengatakan, "....Jika perjalanannya itu jauh di atas jarak yang membolehkan qashar shalat, sedang perjalanannya itu bukan untuk maksiat, maka menurut ijma', dia boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan yang disertai dalil al-Qur-an dan as-Sunnah... " [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Dibolehkan bagi seorang musafir untuk tidak berpuasa, menurut kesepakatan umat, baik dia dalam keadaan mampu mengerjakan puasa maupun tidak, baik dia merasa keberatan untuk menjalankannya maupun tidak."
Adapun dalil secara logika adalah:
Dibolehkannya tidak berpuasa dalam perjalanan, karena perjalanan menjadi aktivitas yang banyak menghadapi kesulitan, sehingga diberikan keringanan kepada kaum muslimin dalam rangka menghilangkan kesulitan dan kesusahan tersebut.
Mahabenar Allah Yang Mahaagung atas firman-Nya:
"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]
Bagian Kedua: Beberapa Jenis Perjalanan yang Membolehkan Pelakunya Tidak Berpuasa
Dalam syarat perjalanan seseorang, tidak boleh bertujuan untuk menyiasati agar boleh tidak berpuasa. Jika dimaksudkan untuk itu, maka diharamkan baginya untuk tidak berpuasa, dan pada saat itu, hukum puasa baginya adalah wajib.
Para ahli fiqih rahimahullah telah bersepakat membolehkan berbuka dalam perjalanan yang hukumnya wajib, misalnya perjalanan jihad, haji dan umrah, sebagaimana yang menjadi pendapat Jumhur Ulama yang membolehkan tidak berpuasa dalam perjalanan yang hukumnya sunnat dan mubah, sebab keduanya berdekatan dengan wajib, karena adanya ketetapan tidak berpuasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat pulang dari perjalanan wajib dan kepulangan tersebut merupakan suatu hal yang mubah. Sedangkan perjalanan sunnat adalah perjalanan dalam rangka ketaatan kepada Allah.
Adapun perjalanan untuk kemaksiatan, maka (pendapat) para ulama terbagi dua, yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengharamkan berbuka. Contoh dari perjalanan itu adalah perjalanan menuju ke negeri kafir untuk mencari tempat-tempat prostitusi, obat-obatan terlarang, kejahatan, penjegalan, pencurian, dan orang yang sejalan dengan mereka yang berusaha menyebarkan kerusakan di muka bumi, serta mengganggu kehormatan dan harta orang-orang mukmin. [6]
Bagian Ketiga: Jarak Perjalanan yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa
Pembuat syari'at Yang Mahabijaksana telah menggantungkan qashar shalat dan pembolehan tidak berpuasa pada kemutlakan perjalanan tanpa batasan. Hanya saja ketika perjalanan itu menjadi tempat kesulitan, dan kesulitan itu tidak terjadi kecuali pada perjalanan yang panjang, maka para ulama rahimahullah telah berbeda pendapat mengenai batasan jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa.
Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa jarak perjalanan yang dibolehkan untuk tidak berpuasa adalah perjalanan selama dua hari penuh atau lebih, yang kira-kira setara dengan 80 kilometer (perjalanan zaman dahulu-ed.).
Ada juga yang berpendapat, bahwa jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa adalah perjalanan selama tiga hari.
Serta ada yang berpendapat bahwa jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa adalah satu hari saja.
Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwasanya tidak ada batasan dalam jarak perjalanan yang membolehkan untuk tidak berpuasa, tetapi yang disebut perjalanan adalah menurut kebiasaan (anggapan masyarakat), maka dibolehkan di dalamnya untuk tidak berpuasa.
Yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena jarak dua hari perjalanan membutuhkan persiapan tersendiri dan secara lahiriah mengandung kesulitan (menurut penulis-ed.) .
Pendapat ini yang menjadi pedoman sejumlah Sahabat dan Tabi'in. Dan itu pula yang menjadi pendapat tiga Imam; Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad, rahimahullah
Di dalam kitab Majmuu' Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "....Adapun ukuran perjalanan yang membolehkan qashar shalat dan berbuka, maka menurut madzhab Malik, asy-Syafi'i, dan Ahmad bahwa ia sejarak perjalanan dua hari dengan menaiki unta dan dengan berjalan kaki sejauh 16 farsakh [7], sebagaimana jarak antara Makkah dan 'Asfan atau Makkah dan jarak antara Jeddah. Abu Hanifah mengatakan, 'Perjalanan tiga hari.' Sedangkan sekelompok ulama Salaf dan Khalaf mengatakan, 'Bahkan orang yang melakukan perjalanan kurang dari dua hari boleh mengqashar dan tidak berpuasa. Dan inilah pendapat yang kuat.'" [8]
Bagian Keempat: Manakah yang Lebih Utama, Berpuasa atau Tidak Berpuasa Ketika dalam Perjalanan?
Yang terbaik bagi seorang musafir adalah mengerjakan yang paling mudah, berpuasa atau tidak berpuasa. Jika kedua-duanya dalam posisi yang sama, maka berpuasa adalah lebih baik, dengan beberapa alasan:
Pertama, karena ia lebih cepat untuk melepaskan diri dari kewajiban.
Kedua, akan lebih semangat baginya jika dia berpuasa bersama orang lain.
Ketiga, mengetahui keutamaan waktu.
Keempat, karena hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abud Darda' Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Kami pernah pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa perjalanan beliau pada hari yang panas sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat terik. Tidak ada di antara kami yang berpuasa, kecuali Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dan Ibnu Rawahah..." [9]
Dan jika seorang musafir merasa kesulitan untuk menjalankan puasa, maka dia boleh tidak berpuasa dalam perjalanan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tidak berpuasa ketika diberitahu bahwa para Sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa keberatan untuk menjalankan puasa.
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah pergi ke Makkah di tahun pembebasan kota Makkah pada bulan Ramadhan, di mana beliau berpuasa hingga ketika sampai di daerah Kira'al Ghamim, maka orang-orang pun berpuasa. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta dibawakan satu wadah air dan kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkatnya sehingga orang-orang melihatnya. Selanjutnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminumnya dan setelah itu ditanyakan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Sesungguhnya sebagian orang-orang tetap berpuasa." Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Mereka adalah pelaku kemaksiatan, mereka adalah pelaku kemaksiatan. " [10]
Dan dalam sebuah riwayat disebutkan: "Lalu dikatakan kepada beliau, sesungguhnya orang-orang telah keberatan menjalankan puasa. Dan orang-orang itu menunggu apa yang akan engkau kerjakan. Lalu beliau meminta dibawakan sewadah air setelah shalat Ashar." [11]
Dan jika seorang musafir telah tiba di negerinya di akhir puasa dalam keadaan tidak berpuasa, maka puasanya pada hari itu tidak sah, karena ia dalam keadaan tidak berpuasa sejak awal siang, sedangkan puasa yang wajib itu tidak sah dikerjakan, kecuali sejak fajar kedua terbit. Tetapi, apakah dia harus menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Sebagian di antara mereka mengatakan, dia harus menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu untuk menghormati waktu dan dia juga harus mengqadha' puasa, karena puasanya pada hari itu tidak sah. Sebagian ulama lainnya mengatakan, "Tidak ada kewajiban baginya untuk menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu, karena dia tidak memperoleh manfaat apa pun dari menahan diri pada waktu itu, karena kewajiban baginya hanyalah mengqadha'. Dan penghormatan terhadap waktu baginya telah hilang dengan dibolehkannya dia untuk tidak berpuasa sejak awal siang secara lahir maupun bathin.[12]
Inilah pendapat yang rajih, insya Allah. Tetapi makan dan minum yang dia lakukan tidak boleh diperlihatkan, karena alasan tidak berpuasanya itu tidak diketahui orang banyak sehingga dapat menimbulkan suuzhan (prasangka buruk) terhadap dirinya atau tindakannya itu akan diikuti oleh orang lain, khususnya orang-orang bodoh dan orang-orang yang memiliki kepribadian lemah.
Bagian Kelima: Berbuka Puasa Bagi Orang Yang Berniat Untuk Bermukim Di Suatu Negeri
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai masalah ini dengan perbedaan yang luas. Pendapat yang shahih adalah jika seseorang telah berniat untuk bermukim lebih dari empat hari maka dia harus berpuasa dan menyempurnakan shalat seperti para pemukim lainnya, karena terputusnya hukum-hukum safar pada dirinya, baik tinggalnya itu untuk belajar, berdagang atau aktivitas lainnya yang dibolehkan agama. Dan jika dia berniat untuk bermukim empat hari atau kurang dari itu atau dia bermukim untuk menunaikan suatu hal yang dia tidak mengetahui kapan selesainya, maka dia boleh tidak berpuasa, karena tidak terputusnya hukum safar pada dirinya. [13]
[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Pembuat syari'at Yang Mahabijaksana telah menggantungkan qashar shalat dan pembolehan tidak berpuasa pada kemutlakan perjalanan tanpa batasan. Hanya saja ketika perjalanan itu menjadi tempat kesulitan, dan kesulitan itu tidak terjadi kecuali pada perjalanan yang panjang, maka para ulama rahimahullah telah berbeda pendapat mengenai batasan jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa.
Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa jarak perjalanan yang dibolehkan untuk tidak berpuasa adalah perjalanan selama dua hari penuh atau lebih, yang kira-kira setara dengan 80 kilometer (perjalanan zaman dahulu-ed.).
Ada juga yang berpendapat, bahwa jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa adalah perjalanan selama tiga hari.
Serta ada yang berpendapat bahwa jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa adalah satu hari saja.
Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwasanya tidak ada batasan dalam jarak perjalanan yang membolehkan untuk tidak berpuasa, tetapi yang disebut perjalanan adalah menurut kebiasaan (anggapan masyarakat), maka dibolehkan di dalamnya untuk tidak berpuasa.
Yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena jarak dua hari perjalanan membutuhkan persiapan tersendiri dan secara lahiriah mengandung kesulitan (menurut penulis-ed.) .
Pendapat ini yang menjadi pedoman sejumlah Sahabat dan Tabi'in. Dan itu pula yang menjadi pendapat tiga Imam; Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad, rahimahullah
Di dalam kitab Majmuu' Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "....Adapun ukuran perjalanan yang membolehkan qashar shalat dan berbuka, maka menurut madzhab Malik, asy-Syafi'i, dan Ahmad bahwa ia sejarak perjalanan dua hari dengan menaiki unta dan dengan berjalan kaki sejauh 16 farsakh [7], sebagaimana jarak antara Makkah dan 'Asfan atau Makkah dan jarak antara Jeddah. Abu Hanifah mengatakan, 'Perjalanan tiga hari.' Sedangkan sekelompok ulama Salaf dan Khalaf mengatakan, 'Bahkan orang yang melakukan perjalanan kurang dari dua hari boleh mengqashar dan tidak berpuasa. Dan inilah pendapat yang kuat.'" [8]
Bagian Keempat: Manakah yang Lebih Utama, Berpuasa atau Tidak Berpuasa Ketika dalam Perjalanan?
Yang terbaik bagi seorang musafir adalah mengerjakan yang paling mudah, berpuasa atau tidak berpuasa. Jika kedua-duanya dalam posisi yang sama, maka berpuasa adalah lebih baik, dengan beberapa alasan:
Pertama, karena ia lebih cepat untuk melepaskan diri dari kewajiban.
Kedua, akan lebih semangat baginya jika dia berpuasa bersama orang lain.
Ketiga, mengetahui keutamaan waktu.
Keempat, karena hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abud Darda' Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Kami pernah pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa perjalanan beliau pada hari yang panas sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat terik. Tidak ada di antara kami yang berpuasa, kecuali Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dan Ibnu Rawahah..." [9]
Dan jika seorang musafir merasa kesulitan untuk menjalankan puasa, maka dia boleh tidak berpuasa dalam perjalanan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tidak berpuasa ketika diberitahu bahwa para Sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa keberatan untuk menjalankan puasa.
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah pergi ke Makkah di tahun pembebasan kota Makkah pada bulan Ramadhan, di mana beliau berpuasa hingga ketika sampai di daerah Kira'al Ghamim, maka orang-orang pun berpuasa. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta dibawakan satu wadah air dan kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkatnya sehingga orang-orang melihatnya. Selanjutnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminumnya dan setelah itu ditanyakan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Sesungguhnya sebagian orang-orang tetap berpuasa." Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Mereka adalah pelaku kemaksiatan, mereka adalah pelaku kemaksiatan. " [10]
Dan dalam sebuah riwayat disebutkan: "Lalu dikatakan kepada beliau, sesungguhnya orang-orang telah keberatan menjalankan puasa. Dan orang-orang itu menunggu apa yang akan engkau kerjakan. Lalu beliau meminta dibawakan sewadah air setelah shalat Ashar." [11]
Dan jika seorang musafir telah tiba di negerinya di akhir puasa dalam keadaan tidak berpuasa, maka puasanya pada hari itu tidak sah, karena ia dalam keadaan tidak berpuasa sejak awal siang, sedangkan puasa yang wajib itu tidak sah dikerjakan, kecuali sejak fajar kedua terbit. Tetapi, apakah dia harus menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Sebagian di antara mereka mengatakan, dia harus menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu untuk menghormati waktu dan dia juga harus mengqadha' puasa, karena puasanya pada hari itu tidak sah. Sebagian ulama lainnya mengatakan, "Tidak ada kewajiban baginya untuk menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu, karena dia tidak memperoleh manfaat apa pun dari menahan diri pada waktu itu, karena kewajiban baginya hanyalah mengqadha'. Dan penghormatan terhadap waktu baginya telah hilang dengan dibolehkannya dia untuk tidak berpuasa sejak awal siang secara lahir maupun bathin.[12]
Inilah pendapat yang rajih, insya Allah. Tetapi makan dan minum yang dia lakukan tidak boleh diperlihatkan, karena alasan tidak berpuasanya itu tidak diketahui orang banyak sehingga dapat menimbulkan suuzhan (prasangka buruk) terhadap dirinya atau tindakannya itu akan diikuti oleh orang lain, khususnya orang-orang bodoh dan orang-orang yang memiliki kepribadian lemah.
Bagian Kelima: Berbuka Puasa Bagi Orang Yang Berniat Untuk Bermukim Di Suatu Negeri
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai masalah ini dengan perbedaan yang luas. Pendapat yang shahih adalah jika seseorang telah berniat untuk bermukim lebih dari empat hari maka dia harus berpuasa dan menyempurnakan shalat seperti para pemukim lainnya, karena terputusnya hukum-hukum safar pada dirinya, baik tinggalnya itu untuk belajar, berdagang atau aktivitas lainnya yang dibolehkan agama. Dan jika dia berniat untuk bermukim empat hari atau kurang dari itu atau dia bermukim untuk menunaikan suatu hal yang dia tidak mengetahui kapan selesainya, maka dia boleh tidak berpuasa, karena tidak terputusnya hukum safar pada dirinya. [13]
[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/144))
[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/145))
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/31) dan Shahiih Muslim (III/142))
[4]. Al-Majmuu' oleh an-Nawawi (VI/261). Lihat kitab Badaa-i'ush Shanaa-i' (I/93), Bidaayatul Mujtahid (I/3850) dan kitab al-Mughni (IV/406).
[5]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/210).
[6]. Lihat kitab Badaa-i'ush Shanaa-i (I/93), Bidaayatul Mujtahid (I/285), al-Majmuu' (VI/261), serta al-Mughni (IV/406).
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/144))
[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/145))
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/31) dan Shahiih Muslim (III/142))
[4]. Al-Majmuu' oleh an-Nawawi (VI/261). Lihat kitab Badaa-i'ush Shanaa-i' (I/93), Bidaayatul Mujtahid (I/3850) dan kitab al-Mughni (IV/406).
[5]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/210).
[6]. Lihat kitab Badaa-i'ush Shanaa-i (I/93), Bidaayatul Mujtahid (I/285), al-Majmuu' (VI/261), serta al-Mughni (IV/406).
[7]. 1 farsakh sama dengan 3 mil dan 1 mil kira-kira sama dengan 1609 m.
16x3=48, 48x1609=77232, yakni lebih dari 77 km, sehingga kita genapkan menjadi 80 km.
[8]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/212). Dan perlu dicatat bahwa Syaikhul Islam kembali kepada pendapat terakhir yang tidak membatasi jarak, tetapi mengikatnya dengan kebiasaan atau anggapan yang berlaku (inilah sebenarnya pendapat terkuat dari seluruh pendapat yang ada-ed.).
[9]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/145))
[10]. Shahiih Muslim (no. 1114 (90)).-Pen.
[11]. Diriwayatkan oleh Muslim. (Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/232))
[12]. Al-Mabsuuth, karya as-Sarkhasi (III/58).
[13]. Lihat Badaa-i'ush Shanaa-i' (I/97), Bidaayatul Mujtahid (I/287), Majmuu' Fataawaa (VI/263), Mughni al-Muhtaaj (I/437), ar-Raudhul Murabbi' (III/372).
16x3=48, 48x1609=77232, yakni lebih dari 77 km, sehingga kita genapkan menjadi 80 km.
[8]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/212). Dan perlu dicatat bahwa Syaikhul Islam kembali kepada pendapat terakhir yang tidak membatasi jarak, tetapi mengikatnya dengan kebiasaan atau anggapan yang berlaku (inilah sebenarnya pendapat terkuat dari seluruh pendapat yang ada-ed.).
[9]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/145))
[10]. Shahiih Muslim (no. 1114 (90)).-Pen.
[11]. Diriwayatkan oleh Muslim. (Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/232))
[12]. Al-Mabsuuth, karya as-Sarkhasi (III/58).
[13]. Lihat Badaa-i'ush Shanaa-i' (I/97), Bidaayatul Mujtahid (I/287), Majmuu' Fataawaa (VI/263), Mughni al-Muhtaaj (I/437), ar-Raudhul Murabbi' (III/372).
Comments
Post a Comment