Sekilas Sejarah Kerajaan Melayu di Dharmasraya


Disarikan Oleh
Frinaldi, ST., M.Sc

Very little is known about the history of Dharmasraya, which apparently played an important role during the time when the Malayu kingdom adapted to the changing geopolitical circumstances and became more focused in exploiting the resources of the interior.

In fact there are three locations that played major roles in the MALAYU KINGDOM of ADITYAWARMAN were (1) SUROASO, the capital in the Minangkabau highlands, (2) DHARMASRAYA, the main reloading point where the natural resources from the surrounding areas where collected, and (3) MUARA JAMBI and/or other ports in the Muara Sabak / Koto Kandis region along the Kuala Niur, the navigable branch of the lower Batang Hari, which formed the gateway to international trade. (The Tanjung Tanah Code Of Law - The Oldest Extant Malay Manuscript, Ulrich Kozok, Ph.D.; St Catherine’s College and The University Press; Cambridge - 2004)

Kawasan DAS Batang Hari semenjak ribuan tahun lalu telah menjadi sarana transportasi dan denyut kehidupan manusia masa lampau.[1] Khususnya pada abad VII sampai dengan abad XIV Masehi yang berdasarkan bukti peninggalan sejarah merupakan masa keemasan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha. Di Kabupaten Dharmasraya sendiri pada periode tersebut berdasarkan bukti sejarah yang ada telah berdiri sebuah Kerajaan Melayu yang dipimpin oleh Aditiawarman dengan pusat pemerintahan di Dharmasraya. Pusat pemerintahan tersebut dapat ditelusuri berdasarkan pada Prasasti Dharmasraya yang dipahatkan pada lapik/alas kaki arca Amoghapasa. Alas kaki tersebut ditemukan di Padangroco, sementara Arca Amoghapasa sendiri ditemukan di situs Rambahan. Prasasti Dharmasraya ditulis dalam huruf Jawa Kuna, dengan bahasa Melayu Kuna dan Sanskerta. Prasasati ini dipahatkan dalam 4 (empat) baris tulisan pada ketiga sisi alas arca (Hasan Jafar, 1992:57). Isi prasasti menyebutkan bahwa pada tahun 1208 Saka (1286 M). Sebuah arca Amoghapasa dengan keempatbelas pengiringnya dan Saptaratna di bawa dari Bhumi Jawa ke Suwarnabhumi untuk ditempatkan di Dharmasraya sebagai punya Sri Wiswarupakumara:
Dari catatan sejarah Jawa Kuna, diketahui bahwa Adityawarman merupakan keturunan Kerajaan Melayu dari seorang Ibu Melayu bernama Dara Jingga dan seorang bangsawan Singasari (Jawa) bernama Adwayabrahma. Adwayabrahma adalah Pejabat dari Kerajaan Singasari yang dikirim Kartanegara untuk mengiringi pengiriman arca Amoghapasa ke Suwarnabhumi. Adyawabrahma muncul pula dalam prasasti Kuburajo I yang ditemukan di Lima Kaum, Kec. Lima Kaum, Kab. Tanah Datar, dengan sebutan nama belakang berbeda, yaitu Adwayawarman. Prasasti Kuburaso I dipahatkan pada batau persegi denagn huruf jawa kuno dan bahasa sanskerta, yang anatara lain menyebuitkan : ”Adwayamarmma mputra kanakamedinindra” yang berarti Adwayamwarma yang berputra raja Tanah emas. Tanah Emas (kanakamedini) identik dengan swarna bhumi atau swarnadwipa yang berarti tanah emas,. Dengan demikian sebutan raja tanah emas ini diperuntukkan bagi Adityawarman.
Adityawarman juga pernah muncul di masa kerajaan Majapahit, disebutkan dalam prasasti yang dipahatkan pada bagian belakang arca manjusri di Candi Jago (Jawa Timur). Menurut beberapa sarjana, prasasti ini mempunyai ciri dan gaya sama dengan tulisan-tulisan yang bereda pada masa Adityawarma. Dengan demikian, diperkirakan prasasti dari arca menjusrio ini ditulis oleh Adityawarman sendiri pada tahun 1343 M (Casparis, 1992:248). Isi yang terkandung dalam prasasti ini menyebutkan Adityawarman yang menjabat sebagai Menteri Wreddaraja, membangun (memperbaiki) sebuah candi yang diperuntukkan bagi keluarganya.
Didalam prasasti ini juga Adityawarman menyebutkan tentang tokoh Rajapatni, Anak karta negara yang kemudian dijadikan Istri Raden Wijaya (Pendiri Kerajaan Majapahit). Dengan demikian, sebelum Adityawarman menjadi raja di malayu, dia menjabat sebagai menteri wreddaraja pada masa kerajaan majapahit. Kemudian pada tahun 1347 M , Adityawarman telah berada di kerajaan melayu di DAS Batang Hari dengan menyebut sebagai seorang Maharatdiraja Adityawarman.
Dalam catatan sejarah, yang menguasai wilayah sepanjang DAS Batang Hari di pedalaman adalah Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memerintah hampir bersamaan, tetapi saling kuasa menguasai satu dengan yang lainnya. Dari berita Cina yang ditulis I-tsing, disebutkan bahwa suatu saat (sekitar tahun 670-an) Kerajaan Melayu pernah menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya (Groenevelt, 1960). Antara kedua kerajaan ini terjadi persaingan dan saling mendominasi satu dengan yang lain. Suatu saat, ketika Sriwijaya lengah, Melayu bangkit kembali dengan mengirimkan utusannya ke Cina, sebagai contoh, pada sekitar pertengahan abad XI M, ketika kerajaan Sriwijaya melemah karena serangan Kerajaan Cola, Melayu memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilangka menyebutkan bahwa pada masa Pemerintahan Vijayabahu di Srilangka (1055 – 1100 M), Pangeran Suryanarayana di Malayapura (Malayu) berhasil memegang tampuk pemerintahan di Suwarnapura (Sumatera) (Wolters, 1970: 92-92).
Kawasan kepurbakaan di DAS Batang Hari tersebut khususnya di Kabupaten Dharmasraya tersebar dari mulai arah hulu sungai Batang Hari di daerah Rambahan (Lubuk Bulang – Kec. Pulau Punjung) – Siguntur (Kec. Sitiung) – Sungai Lansek (Kec. Sitiung) – sampai ke Padang Laweh (Kec. Koto Baru). Bukti-bukti sejarah tentang keberadaan Kerajaan Melayu di Dharmasraya tersebut sebahagian sudah ditemukan seperti situs-situs candi, patung Amoghapasa (Patung Adityawarman yang saat ini berada di Museum Nasional Jakarta), arca-arca, artefak-artefak dan perkuburan raja-raja.

Gambar 1. Posisi Dharmasraya

Pejabat yang diperintah oleh Raja Kertanegara untuk mengiringi arca Amoghapasa tersebut adalah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan Hang Dipangkara, dan Rakryan Dmung Pu Wira. Seluruh rakyat Melayu dari keempat Kasta (Brahmana, Kesatria, Waisya Dan Sudra) bersuka cita, terutamanya Rajanya yang bernama Srimat Tribhuwanaraha Mauli Warmadewa Arca Amoghapasa  yang dikirim tersebut kemudian ditemukan di situs Rambahan, sedangkan alas arcanya ditemukan di dusun Padangroco, Sei Lansek, sekitar 5 Km arah hilir Sungai Batang Hari. Baik arca maupun alas kakinya sekarang berada di Museum Nasional, Jakarta.
Dari data prasasti Dharmasraya dapat diketahui bahwa arca Amoghapasa yang dikirim dari Kertanegara sebagai tanda persahabatan tersebut kemudian didirikan di Dharmasraya, suatu tempat yang penting artinya, kemungkinan adalah Pusat (Ibukota) Pemerintahan dengan Rajanya bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa.
Keberadaan Kerajaan Swarnabhumi di Dharmasraya di bawah kekuasaan Aditiawarman tidak dapat dilepaskan dari sejarah Kerajaan Melayu Jambi.[2] Bermula dari Ekspedisi Melayu I tahun 1275, dua gadis Kerajaan Melayu Jambi masing-masing Dara Petak dan Dara Jingga dibawa balatentara Singosari yang dipimpin oleh Panglima Raden Wijaya ke Pulau Jawa. Dalam perjalanan, Kerajaan Singosari runtuh akibat pemberontakan. Panglima Raden Wijaya meneruskan perjalanannya ke arah timur Pulau Jawa dan membangun kerajaan baru Majapahit.  Panglima Raden Wijaya yang menjadi raja pertama Majapahit, langsung mengawini Dara Petak dan menjadi sebagai permaisuri. Sedangkan Dara Jingga dikawinkan dengan Pangeran Adwayarman.
Keturunan dari perkawinan Dara Jingga dengan Pangeran Adwayarman yang bernaman Aditiawarman pada tahun 1347 ditunjuk menjadi Raja Melayu Jambi yang ditaklukkan Majapahit, berkedudukan di Jorong Siguntur (yang sekarang merupakan wilayah Kecamatan Sitiung Kabupaten Dharmasraya).
Aditiawarman menduduki tahta Kerajaan Swarnabhumi dalam tahun 1348 menggantikan raja sebelumnya Mauliwarmadewa.[3] Aditiawarman memerintah Kerajaan Swarnabhumi yang berpusat di Dharmasraya dari tahun 1347 hingga 1375.  Meninggal dunia pada tahun 1375 dalam usia 85 tahun.


[1] Sungai Batang Hari yang berhilir di kawasan Sumatera Barat, tepatnya di Gunung Talang, Solok merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sangat panjang, melintasi wilayah Minang Kabau. Hulu Sungai ini dimulai di Daerah Mudik Air, Sungai Dareh, Rambahan, Siguntur, Sungai lansek, Sitiung, Padang Laweh, kemudian masuk ke wilayah Provinsi Jambi, dan seterusnya ke Timur sampai bermuara ke laut.
[2] Malayu merupakan sebuah kerajaan yang dianggap penting pada masa itu, dan eksistensinya diakui oleh berbagai kerajaan, tidak hanya di Nusantara tetapi juga sampai ke Negeri Seberang. Eksistensi tersebut juga diakui oleh Kerajaan Majapahit, kerajaan yang cukup besar pada masa itu di Jawa. Di dalam naskah kuno, Nagaraktragama Pupuh XIII:1 dan 2 disebutkan (Bambang Budi Utomo, 1992:182).
1. Terperinci demi Pulau Negara bawahan, paling dahulu Malayu, Jambi, dan Palembang, Karitang, Teba, dan Dharmasraya pun juga ikut disebut Kandis, Kahwas, Panangkabwa, Siyak, Rekan, Kampar, dan Pane, Kampe, Haru, dan Mandahiling juga, Tumihang, Parlak, dan Barat.
2. Luas dengan Samudra dan Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus. Itulah terutama negara-negara melayu yang telah tunduk.
Dari naskah di atas, jelas menunjukan bahwa Malayu merupakan salah satu kerajaan taklukan Majapahit yang cukup penting, sehingga perlu disebutkan paling awal. Daerah Kekuasaan Kerajaan Malayu meliputi hampir seluruh Daratan Sumatera, dengan daerah “bawahan” antara lain: Jambi, Dharmasraya, Kandis, dan Minangkabwa yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari Bambang Budi Utomo, Loc.cit). Karena Jambi disebutkan pertama, Jambi  merupakan tempat yang sangat penting pada saat itu dan bukan lagi sebagai pusat (Ibu Kota) Kerajaan. Pada Masa Raja Kartanegara dari kerajaan Singasari, Pusat pemerintahan kerajaan malayu sudah berada di Dharmasraya, yang lokasinya berada di bagian hulu Batang Hari (sekarang di daerah Rambahan, Jorong Lubuk bulang Nagari IV koto Pulau Punjung Kec. Pulau Punjung Kab. Dharmasraya).
[3] Sejarah Kerajaan Melayu pada masa Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa hanya sebatas data prasasati Dharmasraya 1286 M, selanjutnya pada tahun 1437 M, Raja yang memerintah di Kerajaan Melayu berubah ke tangan Sri Maharajadiraja Adityawarman, yang menyebut dirinya dengan nama Srimat Sri Udayadityawarman. Data ini dapat diketahui berdasarkan pada prasasati yang dipahatkan pada bagian belakang (punggung) arca Amoghapasa yang dikirim Kartanegara untuk Raja Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa.


Comments

  1. Pusat kerajaan Malayapura semasa pemerintahan Adityawarman ialah di Saruaso.Sebelum itu raja Malayapura di Saruaso bernama Akarendrawarman 1316M

    ReplyDelete
  2. Pusat kerajaan Malayapura semasa pemerintahan Adityawarman ialah di Saruaso.Sebelum itu raja Malayapura di Saruaso bernama Akarendrawarman 1316M

    ReplyDelete
  3. Candi roco peninggalan adityawarman kerajaan melayu kuno itu berada di sungai lansek da erah kekuasaan sitiung bukan siguntur,sejarah jangan diputar balikkan,alam takambang manjadi guru.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kerajaan Melayu Dharmasraya dalam Manuskrip Tanjung Tanah

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN DHARMASRAYA